http://uangdownload.com/28630
NugococoM
Blog ini dibuat semata-mata untuk membantu sesama dalam hal mendapatkan berbagai informasi, semoga dengan kehadiran blog ini dapat membantu para bloggers semuanya, thanks
Friday, 17 May 2013
Monday, 13 May 2013
Silahkan Para Netter Semua (baik yang hanya iseng ataupun pengen punya penghasilan tambahan melalui internet) gabung dengan mengklik link dibawah ini
http://www.probux.com/
kemudian klik iklan yang ada di dalamnya sebanyak-banyakx, setiap klik anda akan mendapatkan 0,001 dollar lho, bayangin n kalikan aja jika kalian banyak mengklik iklan. Dijamin gratis boss,hanya bermodalkan kesabaran dan kesungguhan.
Selamat mencoba
Wednesday, 17 April 2013
Perbandingan pemikiran August Comte dan Talckot Parson
PEMIKIRAN
AUGUSTO COMTE
1. Pendahuluan
Selintas apabila melihat manusia
yang satu ini pastinya semua akan berpikir, apakah manusia ini gila ataukah
cerdas ? Begitupun saya pada awalnya yang mencoba mempelajari sosiologi
dan pemikirannya manusia yang satu ini, Auguste Comte. Seorang yang brilian,
tetapi kesepian dan tragis hidupnya.
Auguste Comte yang lahir di Montpellier,
Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang
berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte
tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya
dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan
politik pada masanya.
Comte sebagai mahasiswa di Ecole
Politechnique tidak menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang
memberikan dukungannya kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah
satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan
bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya
Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan
les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang
bentuknya privat.
Hal-hal
yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah yang berbau
matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat
minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin
menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte
tidak menolaknya.
Tiada gading yang tak retak, istilah
yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan
juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi
intelektual dari keduanya.
Sejak saat itulah Comte mulai menjalani
kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte
dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual
yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya.
2. Perkembangan Masyarakat
Kehidupan terus bergulir Comte mulai
melalui kehidupannya dengan menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar
mahasiswa secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi
kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami
fluktuasi dalam penyelesainnya dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya
berkurang drastis.
Comte dalam kegelisahannya yang baru
mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan
psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah , seorang pemberontak
akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah
mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang
dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian.
Kegilaan atau kerajingan yang
diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke
sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin,
seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline
dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara
material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena
tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut
mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam
kegilaannya lagi dan sengsara.
Comte menganggap pernikahannya
dengan Caroline merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang
mulai memiliki kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat
Positiv” (Cours de Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama,
terbitan jilid yang lainnya bertebaran hingga tahun 1842.
Mulailah dapat disaksikan sekarang
bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat
dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian
Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya
filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi
manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang
berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat
menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1.
Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan
mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3.
Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum
itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Keyakinan dalam pengembangan yang
dinamakannya positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah
faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada
hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini
Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru,
merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada
masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk
mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran
yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Comte bukan hanya melakukan
penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena
tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya,
Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan
argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai
mengeluarkan agitasinya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi
dengan kaum intelektual lainnya sekaligus
Uji coba argumentasi atas mazhab
yang sedang dikumandangkannya dengan gencar. Positivisme. Comte sendiri
menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang
dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte
memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih
dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna,
tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan
kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem
klasifikasinya.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan
positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat
obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh
emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti.
Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali.
Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari
mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Bentangan aktualisasi dari pemikiran
Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap”
atau dikenal juga dengan “hukum tiga stadia”. Hukum tiga tahap
ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari
observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.
Versi Comte tentang perkembangan
manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi
kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi
alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau
dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan
keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada
politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur
kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya
dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan
godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan
yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap
metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte
karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya.
Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan
gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa
empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah
penyakit kutukan!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang
masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir
dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam
diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau,
diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan
yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan
manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan
ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari
kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan
sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu
mengeluarkan asap.
Comte jelaslah dapat terlihat
progresivitasnya dalam memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas sosial
pada masanya, dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte
dikelanjutan sistematisasi dari observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu
pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial
statik dan sosial dinamik.
Sosial statik dan sosial dinamik
hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya
bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya
memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik. Statika sosial menerangkan
perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu
membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama
dan berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau
kemauan yang berlaku umum. Sedangkan sosial dinamik, ilmu pengetahuan
yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat
kepada arah kemajuannya.
Pemandangan Comte rasanya dapat
terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan
adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan
perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang
ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte
berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara
cepat, revolusi sosial.
Comte terpaksa memberikan stigma
negatif terhadap konflik, letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam
masyarakat karena akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya
mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila
masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial,
anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial
(sejarah manusia) harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap
proses fase-fasenya (perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan
inti ajaran Comte.
Comte memainkan peran ganda pada
pementasan teater dalam hidupnya, pertama-tama Comte yang menggebu dalam menyelematkan
umat manusia dari “kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan
pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua,
Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.
Comte adalah seorang yang radikal
tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun
bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami
kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif
melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar
yang akan terjadi.
3. Pluralitas Ekstrim
Follow up atas radikalisasi Comte,
antara progresivitas untuk menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas
keteraturan sosial menjadi bahan kontemplasi dan observasinya. Comte sangat
berjuang keras dengan idealismenya (positivisme) agar tercapai dan
dapat mengatasi keguncangan akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang
mungkin tidak akan sama nantinya yang akan terjadi pada manusia.
Pada saat tertentu Comte ulas balik
kembali untuk mencari sumbangan sosial para intelektual sebelum Comte, dan
terdapati oleh Comte tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual
selalu menjadi dasar bagi tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Dan nilai
tersebut, diadopsi dari khasnah masyarakat teologis oleh Comte. Comte
melihat agama memiliki ikatan emosional yang tinggi bersandarkan sistem
kepercayaan yang satu dan itu mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan
ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental
dengan mengutamakan solidaritas sosial dan konsensus.
Menurut
Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu formulasi untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi, perubahan secara cepat
atau revolusi sosial. Namun Comte, tidaklah dapat mengandalkan agama yang
konvensional apabila ingin mengadakan sinkronisasi dan konsisten dalam
pengembangan ilmu pengetahuannya, positivisme.
Rutinitas Comte yang sangat ajek
ternyata tidak mengaburkan Comte dari sense of romance-nya, Comte bertemu
seorang perempuan yang bernama Clotilde de Vaux di tahun 1844. Walaupun, Comte
sangat mencintainya hingga akhir hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta
Comte karena sudah memiliki suami, walau suaminya jauh dari Clotilde. Comte
hanya sempat menjalankan hubungan yang platonis, 1845 Comte menyampaikan
hasratnya dan hal tersebut tahun yang fantantis bagi Comte. Clotilde de Vaux
meninggal pada tahun 1846 karena penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya
dan Clotilde masih terpisah dengan suaminya.
Pada saat itulah mungkin Comte mulai
memikirkan perihal keluarga, keluarga dianggap kesatuan organis yang dapat
menyusun pemikiran-pemikiran sedari awal bagi manusia-manusia baru (pasangan
suami-istri). Internalisasi nilai-nilai baru, tentunya yang positif. Comte yang
percaya bahwa perubahan tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya dalam
masyarakat. Comtepun percaya akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan
kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga
merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan
pada lingkungan social, eskalasi keakraban yang meninggi akan menyatukan dan
mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Hal tersebut membentuk pengalaman
yang didominasi oleh altruisma, terarah atas ketaatan, kerjasama dan keinginan
untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk
mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu
egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada
kepentingan bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap,
sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki
sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja
berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak
dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap
keluarga lainnya.
Rupa-rupanya Comte menganggap
keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural
pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan
selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling
menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan.
Seiring dengan kontemplasi dan
observasi Comte dalam mencari jalan tengah serta persentuhannya dengan
romantisme platonis, perang terus menerus dan individualitas mengembang bagai
jamur di musim hujan pada zaman post-revolusi Perancis semakin menentukan arah
pemikiran Comte yang empirik itu.
Pendobrakan besar-besaran
dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat
manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan
yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan
kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan
yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.
Dalam pada itu Comte yang telah
meyakini ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba mensinkronisasikan
altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin
merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia. Begitupun
kesatuan organis terkecil di masyarakat, amat mempengaruhi Comte sebagai
institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam
pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola
dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat
manusia, Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya.
Idealisasinya berbentuk agama yang
dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama
serta lambangnya, dilengkapi oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama
humanitas, dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap
manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia.
Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya
keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam
masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah Allah karena banyak
penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya
memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan
politik dari kekuatan politik tertentu.
Comte menciptakan agama tersebut,
terlihat seakan mengalami romantisisme terhadap pengalamannya yang lalu bersama
Clotilde de Vaux dan menghasilkan hubungan yang berbuih saja dan realitas
sosial yang juga turut membentuknya. Dari sini pada saat Comte, membentuk
ceremonial keagamaannya dengan mengadakan penyembahan terhadap diri perempuan,
Comte dikatakan oleh para intelektual lainnya kehilangan konsistensi terhadap
ilmu pengetahuan yang dikembangkannya karena pemikirannya sudah terbungkus
dengan perasaan. Comte dikatakan tidak ilmiah.
Namun permasalahan pemujaan Comte,
terhadap perempuan diadopsi dari rentang sejarah ceritra bunda Maria, bukan
karena adanya penolakan perasaan cintanya dari Clotilde de Vaux. Dalam hal ini
Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu
kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis.
Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks
antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran
manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Di
era sekarang hal tersebut merupakan pemandangan umum, perkembangan reproduksi
melalui tekhnologi kedokteran telah berhasil mengaktualisasikan ide tersebut.
Comte bersama ahli-ahli bidang
lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan
yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik,
Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan
Appeal to Conservatives.
Comte dengan konsistensinya
mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan
perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris
pada tanggal 5 September 1857.
4. Kesimpulan
Auguste Comte adalah, manusia yang berjalan di tengah-tengah antara ideologi
yang berkembang ( progressiv vs konservatif ), berada pada ruang abu-abu
( keilmiahan ilmu pengetahuan ). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk
manusia walaupun, ilmu pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan
ide produktifnya. Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai
anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika
dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.
III. Teori Talcott Parsons
Empat
persyaratan fungsional fundamantal yang digambarkan dalam skema AGIL menurut
Parson merupakan kerangka untuk menganalisis gerakan-gerakan tahap (phase movements) yang dapat diramalkan. Keempat
persyararatan ini berlaku untuk setiap sistem tindakan apa saja.
Urutannya
dimulai dengan munculnya suatu tipe ketegangan, yang merupakan kondisi
ketidaksesuaian antara keadaan suatu sistem sekarang ini dan suatu keadaan yang
diinginkan. Ketegangan ini merangsang penyesuaian (adaptation) dari suatu tujuan tertentu (goal maintenance) serta menggiatkan semangat dorong
yang diarahkan kepada pencapaian tujuan itu. Pencapaian tujuan itu memberikan
kepuasan yang dengan demikian mengatasi ketegangan atau menguranginya.
Tetapi,
sebelum suatu tujuan dapat tercapai, maka harus ada suatu tahap penyesuaian
terhadap keadaan genting dari situasi dimana tenaga harus dikerahkan dan alat
yang perlu untuk mencapai tujuan itu harus disiapkan. Selama tahap ini,
pemuasan harus ditunda.
Dalam
kasus suatu sistem sosial harus paling kurang ada suatu tingkat solidaritas
minimal diantara para anggota sehingga sistem itu dapat bergerak sebagai satu
satuan menuju tercapainya tujuan itu.
Jadi
tahap pencapaian tujuan secara khas diikuti oleh suatu tekanan pada integrasi (integration) dimana solidaritas keseluruhan
diperkuat, terlepas dari usaha apa saja untuk tercapainya tugas instrumental.
Akhirnya,
tahap ini akan diikuti oleh tahap mempertahankan pola tanpa interaksi atau
bersifat laten (laten
pattern maintenance).
Sistem
sosial sebagai suatu keseluruhan juga terlibat dalam saling tukar dengan
lingkungannya. Lingkungan sistem sosial itu terdiri dari lingkungan fisik,
sistem kepribadian, sistem budaya dan organisme perilaku.
Sistem
tindakan ini dilihat sebagai berada dalam suatu hubungan hirarki dan bersifat
tumpang tindih. Sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif
yang dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur
kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan melalui peran-peran tertentu
dalam sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota
sistem tersebut. Organisasi perilaku merupakan energi dasar yang dinyatakan
dalam pelaksanaan peran dalam sistem sosial.
Parsons
melihat hubungan antara pelbagai sistem tindakan ini berdasarkan kontrol
sibernatik (cybernetic
control) yang didasarkan pada arus informasi
dari sistem budaya ke sistem sosial, ke sistem kepribadian dan ke organisasi
perilaku.
Energi
yang muncul dalam arus tindakan adalah dari arah yang sebaliknya, yang bermula
dari organisme perilaku.
Hubungan
antara sistem-sistem tindakan umumnya dan persyaratan-persyaratan fungsional
adalah sebagai berikut :
Sistem
Tindakan
|
Persyaratan
Fungsional
|
Sistem
budaya
Sistem
sosial
Sistem
kepribadian
Organisme
perilaku
|
Pemeliharaan
pola-pola yang laten
Integrasi
Pencapaian
tujuan
Adaptasi
|
Pemeliharan
pola-pola yang laten (laten pattern maintenance) dihubungkan dengan sistem budaya, karena fungsi ini
menekankan nilai dan norma budaya yang dilembagakan dalam sistem sosial.
Masalah
integrasi berhubungan dengan interelasi antara pelbagai satuan dalam sistem
sosial.
Pencapaian
tujuan dihubungkan dengan sistem kepribadian dalam arti bahwa tujuan
sistem-sistem sosial mencerminkan titik temu dari tujuan-tujuan individu dan
memberikan mereka arah sesuai dengan orientasi nilai bersama. Hubungan antara
pencapaian tujuan dengan sistem kepribadian ini mencerminkan perspektif Parsons
bahwa tindakan selalu diarahkan pada tujuannya.
Kemudian,
sifat dari masalah penyesuaian ditentukan sebagian besar oleh sifat-sifat
biologis individu sebagai organisme yang berperilaku dengan persyaratan
biologis dasar tertentu yang harus dipenuhi oleh mereka agar tetap hidup.
Talcott Parsons
The Social System: Sistem Sosial:
- mutually dependent parts saling tergantung bagian
- parts contribute to functioning of
system bagian berkontribusi terhadap
berfungsinya sistem
- moving equilibrium; disturbance
induces counter-reaction to maintain equilibrium kesetimbangan bergerak; gangguan menyebabkan kontra-reaksi
untuk menjaga keseimbangan
Properties of System to Which
Parts Contribute Sifat Sistem Yang Bagian
Berkontribusi
- Adaptation (economy) Adaptasi
(ekonomi)
- Integration (courts; police; law) Integrasi
(pengadilan, polisi; hukum)
- Pattern Maintenance and tension
management (family; education; culture
contribute to socialization and role commitment) Pola Pemeliharaan dan manajemen ketegangan (keluarga,
pendidikan, budaya berkontribusi untuk sosialisasi dan komitmen peran)
- Goal attainment (political) Pencapaian
tujuan (politik)
Social Stratification Defined: Stratifikasi Sosial Ditetapkan:
"differential ranking
of human individuals who compose a given social system and their treatment as
superior or inferior relative to one another in certain socially important
respects" (Parsons, Analytical Approach to
Social Strat., 69) "Diferensial
peringkat individu manusia yang membentuk suatu sistem sosial tertentu dan
pengobatan mereka sebagai atau rendah relatif lebih unggul satu sama lain dalam
hal sosial penting tertentu" (Parsons, Analytical Pendekatan Sosial
Start., 69)
Fundamental Axis of
Stratification: Ascription vs. Achievement
Fundamental Poros Stratifikasi: anggapan vs Prestasi
- Ascribed Status: results from birth or biological herditary qualities (eg age,
sex) Berasal Status: hasil dari
kelahiran atau kualitas herditary biologis (misalnya umur, jenis kelamin)
- Achieved status: results from personal actions (effort, hard work, talent) Mencapai status: hasil dari tindakan pribadi (usaha,
kerja keras, bakat)
Moral Evaluation Moral Evaluasi
Ranking done on basis of moral
evaluation, resulting in degrees of respect or disapproval (status) Peringkat dilakukan berdasarkan evaluasi moral, sehingga dalam
derajat rasa hormat atau ketidaksetujuan (status)
6 Bases of Differential Moral
Evaluation: 6 Basis Evaluasi Diferensial Moral:
- Membership in kinship unit
(by birth, marriage) Keanggotaan dalam unit
kekerabatan (dengan kelahiran, perkawinan)
- Personal qualities (sex, age, personal beauty, intelligence strength) Personal kualitas (jenis kelamin, usia, kecantikan
pribadi, kekuatan intelijen)
- Achievements (result of individual's actions) Pencapaian (hasil's tindakan individu)
- Possessions (material & non-material things belonging to an individual
and transferrable) Harta (materi
& hal-hal non-bahan milik individu dan Dialihkan)
- Authority ("institutionally recognized right to influence actions
of others", p. 76; resides in position or office) Authority ("kelembagaan mengakui hak untuk
mempengaruhi tindakan orang lain", hal 76; berada di posisi atau
kantor)
- Power (ability to influence others and secure possessions which is
not institutionally sanctioned) Daya
(kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan harta benda aman yang tidak
institusional sanksi)
Kinship Groups as Units of
Stratification Kelompok Kekerabatan sebagai Unit
Stratifikasi
"the class status of an
individual is that rank in the system of stratification which can be ascribed
to him (sic) by virtue of those of his (sic) kinship ties which bind him to a
unit in the class structure" (77-8)
"Status kelas individu adalah bahwa peringkat dalam sistem stratifikasi
yang dapat berasal kepadanya (sic) berdasarkan orang-orang) nya (sic hubungan
kekerabatan yang mengikat dirinya kepada suatu unit dalam struktur kelas"
(77-8 )
2 Dominant Aspects of American
Stratification: 2 dominan Aspek Stratifikasi
Amerika:
- Occupation: universalistic criteria; achieved status; not determined at
birth; equality of opportunity Pekerjaan:
Kriteria universal, status dicapai; tidak ditentukan saat lahir, persamaan
kesempatan
- Kinship: ascribed status determined at birth Kekerabatan: Status berasal ditentukan pada saat
kelahiran
Contradiction between
Occupation and Kinship: Kontradiksi antara
Pekerjaan dan Kekerabatan:
Parsons: In the American system of stratification, women cannot be allowed
to compete on an equal footing for the jobs of men; otherwise, this would
threaten the stability of the family, and hence of society. Parsons: Dalam sistem Amerika stratifikasi, perempuan tidak
dapat diizinkan untuk bersaing pada kedudukan yang sama untuk pekerjaan
laki-laki, jika tidak, ini akan mengancam stabilitas keluarga, dan karenanya
masyarakat.
Separation of sex roles to
prevent competition: Pemisahan peran seks untuk
mencegah persaingan:
"One mechanism which can
serve to prevent the kind of 'invidious comparison' between husband and wife
which might be disruptive of family solidarity is a clear separation of the sex
roles such as to ensure that they do not come in competition with each"
(Parsons, 79-80). "Salah satu mekanisme
yang dapat berfungsi untuk mencegah jenis 'perbandingan yg menyakitkan hati'
antara suami dan istri yang mungkin mengganggu solidaritas keluarga adalah
pemisahan yang jelas tentang peran seks, seperti untuk memastikan bahwa mereka
tidak datang dalam persaingan dengan masing-masing" (Parsons , 79-80).
Exclusion of Women's
Independent Status Pengecualian Status
Independen Perempuan
"The separation of the sex
roles in our society is such as, for the most part, to remove women from the
kind of occupational status which is important for the determination of the
status of a family" (Parson, 80)
"Pemisahan peran seks di masyarakat kita seperti, untuk sebagian besar,
untuk menghilangkan perempuan dari jenis status pekerjaan yang penting untuk
penentuan status keluarga" (Parson, 80)
Instrumental vs Expressive
Roles: Instrumental vs Peran Ekspresif:
- Instrumental Roles = men = outside family; occupational world; adaptation of
society Instrumental Peran = pria =
keluarga luar; dunia kerja; adaptasi masyarakat
- Expressive Roles = women = inside family; tension management in family;
socialization of children Ekspresif
Peran = wanita = keluarga dalam; ketegangan manajemen dalam keluarga;
sosialisasi anak
Dress and Sex-1 Dress-1 dan Jenis Kelamin
"Women's
interests...run... far more in the direction of personal adornment and the
related qualities of personal charm... . Men's dress is practically a uniform,
admitting of very slight play for differentiating taste" (Parsons, 80) "Perempuan kepentingan ... lari ... jauh lebih ke arah perhiasan
pribadi dan kualitas terkait pesona pribadi ..., Men's. Gaun adalah praktis
seragam mengakui dari sedikit bermain sangat untuk membedakan rasa"
(Parsons, 80) Click on Pic: Adorned Woman vs Working Man Klik Pic: Wanita Berhiaskan Man vs Kerja
Dress and Sex - 2 Dress dan Jenis Kelamin - 2
"This
serves to concentrate the judgment and valuation of men on their occupational
achievements, while the valuation of women is diverted into realms outside the
occupationally relevant sphere. " (Parsons, 80) "Ini berfungsi untuk berkonsentrasi
penghakiman dan penilaian orang pada prestasi pekerjaan mereka, sedangkan
penilaian perempuan dialihkan ke alam di luar lingkup yang relevan
occupationally." (Parsons, 80)
Dress and Sex-3: Dress dan Jenis Kelamin-3:
This difference appears
particularly conspicuous in th urban middle classes where competition for class
status is most severe. Perbedaan ini muncul
terutama mencolok di th kelas menengah perkotaan di mana kompetisi untuk status
kelas yang paling parah. ... ... this phenomenon is functionally related to maintaining
family solidarity in our class structure" (Parsons, 80) Fenomena
ini secara fungsional berhubungan dengan menjaga solidaritas struktur keluarga
di kelas kami "(Parsons, 80) Dress and Sex-4: Dress dan Jenis Kelamin-4:
"...the qualities and achievements of the feminine role have come to be significant as symbols of the status of the family, as parts of its 'standard of living' which reflect credit on it. The man's role ... is primarily to determine the status of his "... Kualitas dan pencapaian peran feminin telah datang untuk menjadi signifikan sebagai simbol status keluarga, sebagai bagian dari 'perusahaan standar hidup yang mencerminkan kredit di atasnya. Pria Peran ... terutama untuk menentukan status nya
Tuesday, 16 April 2013
KEBIMBANGAN SEORANG MANUSIA
Hanya termenung dan terdiam saat sebuah ucapan terlontar dari mulutmu
Kebimbangan yang mereka menghentikan nafas sejenak yang membayangkan semua kenangan kita
dalam kebimbangan hati menutup pemikiranku seakan berhenti bekerja
Mulut tak mampu laki berucap seakan membeku dalam kemarahanmu yang semakin menjadi
Tubuh terpaut dalam kegelisahan seakan tanpa ketenangan dalam jiwa
Nafas seakan berpacu dengan hentakan suara kebimbangan yang nyata
Air matapun berlinang tanpa henti melewati pori-pori kulit wajahku
melemahkan seluruh yang ada dalam tubuh ini
Sempat terpikir tuk pergi saat terucap kata yang tegas dari mulutmu
"Aku sudah tak sayang dan sudah tak ada perasaan lagi denganmu"
Hancur hati ini.. Tercabik-cabik..
tidak menyangka jika hal itu terucap tegas keluar dari mulutmu
Kini.. akan ku serahkan semua kepada Allah
Bertafakkur seraya menyampaikan harapan semoga diberikan yang terbaik untuk kita
seandainya angin
Friday, 12 April 2013
Makalah Etika Globalisasi
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Manusia
merupakan Zoon Politicon (Aristoteles:
384-322 SM) artinya dalam kesehariannya
Manusia membutuhkan orang lain dalam menunjang kegiatannya di Muka bumi ini. pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia, jadi makhluk yang
bermasyarakat . dari sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia
dikenal sebagai makhluk sosial.1 Suka atau tidak suka Manusia dalam
kesehariannya akan menghadapi dan bergaul bersama masyarakat, manusia tidak
dapat hidup sendiri bahkan untuk memenuhi kebutuhannya manusia membutuhkan
manusia lain.
Indonesia adalah merupakan negeri
yang penuh dengan budaya sopan santun dengan berbagai macam etnis dan adat
istiadat, Negara indonesia menganut sistim ketimuran yang artinya bahwa di
Indonesia ini masih kentak dengan budaya yang sopan dan santun. Guna untuk
menyeimbangkan kesopanan antara yang tua dan yang muda ataupun dalam hal
menyeimbangkan budaya dengan cara pergaulan untuk itulah sangat diperlukan
peranan etika.
Namun
pada prakteknya dimasyarakat, lambat laun etika itu tergerus dengan arus yang
dinamakan Globalisasi atau biasanya disebut Zaman Modernisasi. Sejauh manakah
pengaruh Globalisasi terhadap Etika bermasyarakat di Indonesia? Berdasarkan
pada Latar belakang inilah maka pada maklah kami ini akan membahas tentang DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP ETIKA
BERMASYARAKAT DI INDONESIA, yang akan kami bahas pada bab selanjutya.
I.II Rumusan
Masalah
Adapun Rumusan masalah pada makalah Kami ini
adalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana Dampak globalisasi terhadap Etika
bermasyarakat di Indonesia?
2.
Bagaimanakah bentuk antisipasi dalam
hal mengatasi pegaruh Globalisasi terhadap Etika Bermasyarakat di Indonesia?
|
I.III Landasan
Teori
1.
Pengaruh merupakan
kekuasaan yang mengakibatkan perubahan perilaku orang lain atau kelompok lain (Sosiologi Pedesaan)
2. Globalisasi dapat didefinisikan sebagai
intensifikasi,relasi social sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling
berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa social dibentuk oleh
peristiwa yang terjadi pada jarak bermil-mil (Anthony giddens,2005:84)
3.
Globalisasi merupakan
fenomena yang menjadikan dunia mengecil dari segi perhubungan manusia. Hal ini
dimungkinkan karena perkembangan tekhnologi yang sangat cepat (Kamus Bahasa)
4.
Globalisasi adalah
sebuah payung yang mewadahi adanya perubahan karena efek kolektif yang
berakibat sebuah perubahan (Wikipedia)
5.
Etika adalah
cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai norma dan moral yang menentukan
perilaku manusia dalam hidupnya (Drs. H.
Burhanudin Salam)
I.IV Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan Makalah ini
adalah sebagai Tugas kelompok yang di berikan oleh Dosen Mata kuliah Etika
Pemerintahan.
BAB II
PEMBAHASAN
II.I Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang
memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa
dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi,
perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi dapat didefinisikan sebagai
intensifikasi,relasi social sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling
berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa social dibentuk oleh
peristiwa yang terjadi pada jarak bermil-mil2
Istilah
Globalisasi, pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt tahun 1985 yang menunjuk
pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi
keuangan. Menurut sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi
elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi elektronik
melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi.3
Globalisasi adalah proses lanjutan dari perkembangan
perekonomian dunia,sutu keadaan dimana segenap aspek perekonomian/pasokan dan
permintaan bahan mentah,informasi dan transfortasi tenaga
kerja,keuangan,distribusi,serta kegiatan-kegiatan pemasaran atau terintegrasi
dan kian terjalin dalam hubungan saling ketergantungan yang berskala dunia4
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak
karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini
sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi
yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
|
II.II Makna Etika
Kata etika
berasal dari bahasa yunani kuno yaitu “Ethos”, dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti diantara nya tempat tinggal biasa, padang rumput,kanang,kebiasaan,
adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir, dalam bentuk jamak
artinya “ta etha”, artinya adat kebiasaan Prof. Dr.Suwito memberikan tiga
pengertian tentang etika dalam bukunya Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu
Miskawaih yaitu :
1.
Nilai atau norma –
norma menegenai benar atau salah yang dianut oleh suatu golongan atau
masyarakat, contoh Etika suku Indian, Etika Protestan, dan lain-lain.
2.
kumpulan asas atau
nilai moral yang berkenaan dengan akhlak,yang dmaksud disini adalah kode etik,
contohnya Etika kedokteran,Etika Rumah sakit Indonesia, dan lain-lain.
3.
Ilmu tentang apa yang
baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral(akhlak), Etika
baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai
tentang yang dianggapbaikdan buruk) yang bisa diterima oleh masyarakat umum.
Etika berkaitan dengan nilai, norma, dan moral. Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai dan pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri.
Di dalam nilai itu sendiri terkandung
cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Menurut tinggi
rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan yaitu:
1. Nilai-nilai kenikmatan
Dalam tingkatan ini terdapat deretan
nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan yang menyebabkan orang
senang atau menderita tidak enak.
2.
Nilai-nilai
kehidupan
Dalam tingkatan ini terdapatlah nilai-nilai
yang penting bagi kehidupan misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, dan kesejahteraan
umum.
3.
Nilai-nilai
kejiwaan
Dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai
kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun
lingkungan. Misalnya nilai keindahan, kebenaran maupun lingkungan.
4.
Nilai-nilai
kerohanian
Dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai
dari yang suci dan tidak suci. Misalnya nilai-nilai pribadi. Ada empat macam
nilai-nilai kerohanian, yaitu:
a.
Nilai kebenaran
yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b.
Nilai keindahan
atau nilai estetis, yang bersumber pada perasaan manusia.
c.
Nilai kebaikan
atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d.
Nilai religius,
yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber
kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Nilai
dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Jadi norma
sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Antara norma dan etika
memiliki hubungan yang sangat erat yaitu etika sebagai ilmu pengetahuan yang
membahas tentang prinsip-prinsip moralitas. Etika memiliki peranan atau fungsi
diantaranya yaitu:
1.
Dengan etika
seseorang atau kelompok dapat menegemukakan penilaian tentang perilaku manusia
2.
Menjadi alat
kontrol atau menjadi rambu-rambu bagi seseorang atau kelompok dalam melakukan
suatu tindakan atau aktivitasnya sebagai mahasiswa
3.
Etika dapat
memberikan prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang.
4.
Etika menjadi
penuntun agar dapat bersikap sopan, santun, dan dengan etika kita bisa di cap
sebagai orang baik di dalam masyarakat.
II.III Pengaruh Globalisasi
Globalisasi
menunjukkan perubahan besar dalam masyarakat dunia Khususnya di indonesia . Apa
yang ditunjukkan bukan sesuatu yang remeh-temeh. Bukan sekadar soal kita
menambahkan perlengkapan modern seperti, video, fashion, televisi, parabola,
komputer, dan sebagainya dalam cara hidup. Kita hidup di dalam dunia yang sedang
mengalami transformasi yang luar biasa, yang pengaruhnya hampir melanda setiap
aspek dari kehidupan. Entah baik atau buruk, kita didorong masuk ke dalam
tatanan global yang tidak sepenuhnya dipahami oleh siapapun, namun dampaknya
bisa kita rasakan.Fenomena tersebut tidak melulu dalam pengertian ekonomi.
Globalisasi juga berdimensi politik, teknologi, budaya dan keagamaan. Akan
sangat keliru, jika menganggap globalisasi hanya berkaitan dengan sistem-sistem
besar, seperti tatanan perekonomian dunia. Globalisasi bukan soal apa yang ada
“di luar sana”, terpisah langsung, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Ia juga
merupakan fenomena “di sini”, yang langsung mempengaruhi sistem kepercayaan dan
kehidupan kita.
Dengan kian
merebak dan canggihnya teknologi media, memungkinkan sebuah masyarakat
menyaksikan bentuk-bentuk kehidupan dan sistem kepercayaan lain yang berbeda.
Sebuah masyarakat juga menyaksikan masyarakat lain dalam macam-macam gaya
hidup, orientasi keagamaan yang berlainan, ragam etnis-suku bangsa, perbedaan
bahasa dan sebagainya. Bahkan, bukan itu saja, globalisasi seperti yang
diungkapkan Anthony Giddens juga
merupakan efek jarak jauh (time-space
distanciation). Maksudnya, apa yang terjadi pada satu belahan bumi, bisa
terjadi efek pada belahan bumi yang lain. Misalnya, teror bom di Bali dengan
serta merta mempengaruhi dunia kehidupan masyarakat di belahan bumi lainnya.
Pada intinya, kehidupan masyarakat global saat ini dihadapkan pada pluralitas
kebudayaan yang saling mempengaruhi, yang tidak pernah kita bayangkan
sebelumnya.Saling pengaruh di antara ragam kebudayaan, jika tidak dikelola
dengan baik, akan menimbulkan konflik yang hebat, berkepanjangan dan susah
dihentikan.
Seperti yang
disinyalir oleh Samuel Huntington,
garis-garis batas dalam dunia mutakhir (dunia era pasca-Perang Dingin) tidak
berasal dari politik atau ideologi, melainkan kebudayaan. Dalam karyanya yang
kontroversial ‘The Clash of Civilization”
(1993), Huntington berpendapat
bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan
agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang
disebut sebagai peradaban.Tatkala perjumpaan peradaban satu dengan yang
lainnya, melalui globalisasi, tidak berkembang secara adil, dan tidak ada
saluran komunikasi, maka benih-benih permusuhan kian menggumpal dan siap
meledak. Buat kebanyakan orang yang tinggal di luar Eropa dan Amerika Utara,
globalisasi terkesan tidak menyenangkan, seperti Westernisasi atau mungkin
Amerikanisasi. Ketika muncul peradaban yang dominan dan dirasakan menindas oleh
peradaban yang lain, kemungkinan terjadi “benturan peradaban” (Clash of Civilization) saat mungkin.
Namun,
konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam
peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam
peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka
masing-masing. Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan
dan Katolik, bukan merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang
mendalam, karena sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik
di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama.
Perbedaan keyakinan dalam masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah
perbedaan besar, karena pada intinya sebenarnya kedua agama itu samapunya
tradisi dan akar sejarah yang sama: semitik.
Dalam bukunya
yang berjudul The End of Nation State (1995), Ohmae berpendapat bahwa perang
biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan
kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian latenbukan ketika antar
peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Seakan
menyanggah tesis Huntington, Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik
terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang kolot yang melibatkan
rakyat untuk melakukan konfrontasi bersenjata. Persoalannya adalah, bagaimana
memikirkan kelangsungan kehidupan masyarakat global saat ini dan di masa depan?
Bukahkah intensitas konflik-konflik dalam masyarakat global kian meningkat,
sangat rawan dan terkesan tak terkendali. Bukankah kehidupan masyarakat global
kian tercabik-cabik dengan begitu sering konflik-konflik di antara mereka. Apa
yang memungkinkan kohesi sosial (nilai-nilai pengikat) dalam masyarakat global,
yang di dalamnya terdapat beraneka ragam pluralitas, bisa diupayakan.
Seiring dengan
peralihan dari masyarakat tradisional yang relatif homogen ke masyarakat global
yang pluralistik, terjadilah krisis legitimasi yang luar biasa di dalam
masyarakat global tersebut. Krisis legitimasi dalam pengertian bahwa tatanan
legitim masyarakat tradisional sebuah tatanan masyarakat yang didasarkan pada
sebuah sistem kepercayaan atau agama mulai kehilangan validitasnya.Akan muncul
tendensi perlawanan jika sebuah masyarakat coba diatur dengan dan oleh aturan
masyarakat lain. Akan lebih kacau lagi jika setiap kelompok masyarakat
memaksakan sistem kepercayaannya sebagai yang “paling benar” untuk mengatur
masyarakat dunia.Oleh karena itu, diperlukan sebuah visi besar untuk mengawal
perkembangan masyarakat global saat ini dan di masa depan. Seorang teolog besar
abad ini, Hans Kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global.
Dalam karyanya yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and Economics
(1997), Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia
yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah
konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan
oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan
yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non-beriman (ateis).
Dalam
kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan
yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-nilai universal) yang meskipun
terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk kehidupan,
budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan
masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di
atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada beberapa tuntutan
fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan,
dan semacamnya. .Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus
global tidak bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah
konsensus tidak bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif
atau kebenaran yang dipikirkan sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak
boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang
mengatasi hubungan-hubungan sosial (FB Hardiman: 2002). Karena kebenaran yang
sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh
Hitler dan Musollini.
Jadi,
kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat
intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur dan
terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa
etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan
kekacauan.Namun, harus juga disadari bahwa etika global ini bukanlah obat
mujarab yang langsung memberikan solusi bagi persoalan dunia. Setidaknya, etika
global memberi tuntutan dan dasar moral bagi individu maupun tatanan global
yang lebih baik. Hans Kung juga tidak naif, bahwa tuntutan etika global ini
bukan main sulitnya untuk mahkluk rasional sekalipun. Tetapi, menurut dia,
harus ada tuntutan semacam itu dalam dialog yang riil dalam masyarakat global.
Kalau tidak, dialog akan jatuh pada perspektif etnosentris, entah agama, ras,
bangsa, dan kelompok-kelompok kepentingan. Jadi, etika global dalam masyarakat
global merupakan keniscayaan
Di Zaman
Globalisasi saat ini banyak pengaruh yang mempengaruhi remaja. Ada pengaruh
yang positif ada juga pengaruh yang negatif. Sebagai remaja yang baik kita
harus memanfaatkan alat – alat / teknologi yang sudah canggih sehingga mampu
menguasainya. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya mempunyai etika yang
baik. Tapi saat ini banyak sekali remaja yang tidak sopan, tidak menghormati
orang yang lebih tua darinya. Mungkin itu adalah pengaruh negatif dari
Globalisasi. Dan itu menyebabkan pergaulan bebas, narkoba, dll.hal-hal itu
harus dihindari. Tapi kita juga tidak boleh menyalahkan adanya Zaman
Globalisasi, karena jika tidak ada Zaman Globalisasi kita tidak akan mengenal
alat – alat komunikasi yang canggih. Nilai moral bangsa dinilai dari etika
masyarakatnya. Jadi, jika ingin mempunyai nilai moral bangsa yang baik kita
harus menjaga etika. Gunakan slogan ” Jika ingin dihormati, Hormatilah orang
lain.” Agar kita sopan terhadap orang lain. Jadi, kita dianggap bangsa yang
berbudi baik dimata bangsa lain. Etika seharusnya diajarkan sejak dini oleh
orang tuanya. Anak biasanya menirukan kegiatan orang tuanya,maka dari itu orang
tua seharusnya melakukan kegiatan yang mampu memberikan arti etika baik. Dan
mampu dimengerti oleh si anak. Dengan didikan yang baik anak tersebut akan
menjadi anak yang sopan kelak. Dan anak tersebut juga harus mempunyai iman yang
kuat. Sehingga, mampu melawan pengaruh buruk Globalisasi seperti Narkoba, Sex
bebas, dll.Pesannya : ” Jadilah remaja yang terhindar dari hal – hal buruk yang
mampu mempengaruhi kita, sehingga kita mempunyai etika yang buruk” dan
“Experience is the best theacher.
Etika juga dipengaruhi oleh tontonan yang kita lihat. Jika yang kita lihat baik untuk kita maka kita akan terpengaruh untuk menjadi baik juga.
Etika juga dipengaruhi oleh tontonan yang kita lihat. Jika yang kita lihat baik untuk kita maka kita akan terpengaruh untuk menjadi baik juga.
II.IV Dampak Globalisasi Terhadap
Etika Bermasyarakat di Indonesia
Arus
globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda.
Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi
tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri
sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul
dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti
selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang
minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan.
Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan
kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata
orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya.
Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan
pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pemikiran Liberalis yang tanpa batas sudah menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan dengan peradaban budaya timur Indonesia yang begitu tinggi dengan
nilai kesopanan, tata krama yang diikat oleh aturan agama, tapi kini sudah
terpuruk dengan moral yang rendah dan nilai etika serta adab yg jauh dari
kesopanan maupun peradaban manusia yg mengkampanyekan pornografi dan pornoaksi
dengan alasan seni, serta berusaha melegalkan kaum homoseksual untuk diakui
keberadaannya, dan ajang-ajang miss universe yang mengumbar kemolekan tubuh dan
dibingkai dengan latar belakang intelligent pendidikan yang tinggi, yang
sebenarnya sudah melanggar batasan budaya Indonesia dan kaidah agama.
Teknologi
internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat
diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi
santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita
memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat
kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak
semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja,
ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat
menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan
handphone.
Dilihat dari
sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan
cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi
menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati
mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan
kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Selain itu
juga banyak terjadi kasus sex bebas yang dilakukan remaja akhir-akhir ini
merupakan akibat dari globalisasi. Untuk itu, orang tua harus bisa menjaga
prilaku anaknya agar tidak terpengaruh dengan perilaku seks bebas. Pengaruh
seks bebas memang tidak bisa dihindari, karena sekarang ini zaman globalisasi
namun, pengaruh perilaku seks bebas bisa dihindari. Kuncinya pada orang tua.
Bagaimana orang tuanya menjaga anak-anaknya dan memperhatikan perilaku anaknya
agar tidak terpengaruh dengan perilaku seks bebas. Pengaruh seks bebas adalah
gejolak yang wajar. Tapi, semua pihak harus bisa menjaganya agar kaum remaja
itu tidak terpengaruh perilaku Semua pihak harus bisa menjaga agar jangan
samapi terjadi perilaku seks bebas. Termasuk para wartawan. Jangan memberikan
judul yang bombastis, menakutkan dan menyeramkan seks bebas.
Sementara itu,
pengaruh seks bebas di era globalisasi memang tidak bisa dihindari.
Yang bisa dilakukan adalah bagaimana orang tua dapat menjadi teman yang baik bagi anaknya. Menjadi tempat curhat dan bisa mengarahkan perilaku anaknya ke hal-hal yang positif. Hal lainnya seperti mabuk-mabukan,maraknya kasus narkoba yang terjadi dikalangan anak muda dan semakin mudahnya ditemukan diskotik terutama di kota-kota besar sehingga mendorong anak muda atau remaja untuk mencari hiburan kesana.
Yang bisa dilakukan adalah bagaimana orang tua dapat menjadi teman yang baik bagi anaknya. Menjadi tempat curhat dan bisa mengarahkan perilaku anaknya ke hal-hal yang positif. Hal lainnya seperti mabuk-mabukan,maraknya kasus narkoba yang terjadi dikalangan anak muda dan semakin mudahnya ditemukan diskotik terutama di kota-kota besar sehingga mendorong anak muda atau remaja untuk mencari hiburan kesana.
Pengaruh
globalisasi terhadap etika atau kesantunan dalam kehidupan berbangsa bernegara
yaitu mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri
sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat
yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat dan juga munculnya sikap
individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga.
Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan
bangsa.
Pengaruh-
pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap
nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa
nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi
mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri
dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di
negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum
tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif
dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan
nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
II.V Antisipasi Pengaruh Negatif
Globalisasi Terhadap Nilai Etika
Berbagai cara
mulai dilakukan dalam mengantisipasi pengaruh negatif Globalisasi yang semakin
berkembang di Indonesia, adapun langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak
negatif globalisasi terhadap nilai- nilai etika antara lain yaitu :
1.
Menumbuhkan semangat
nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2.
Menanamkan dan
mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.
Menanamkan dan
melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.
Selektif terhadap
pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya
bangsa.
5.
Perlunya perhatian
para orang tua dalam memantau pergaulan dan cara hidup anaknya.
6.
Perlu adanya Etika
global, yaitu sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap
dasar yang dikukuhkan olen semua sistem kepercayaan (agama)meskipun terdapat
perbedaan dogmatis. Konsensus memerlukan standar etika fundamental (nilai-nilai
universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama. Sebuah
konsensus global dimungkinkan terwujud diatas moralitas dasar (nilai-nilai
universal),seperti kebenaran,keadilan,kemanusiaan,dan semacamnya.
Dengan adanya
langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh
globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga
kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.
BAB III
PENUTUP
III.I Kesimpulan
1.
Munculnya Globalisasi
di Indonesia sangat berdampak terhadap Etika Bermasyarakat terutama pada
generasi muda, Dampak yang ditimbulkan berupa dampak positif yakni perkembangan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang semakin berkembang sehingga dengan mudah
masyarakat dapat mengakses berbagai macam informasi secara cepat, akan tetapi
Globalisasi memiliki dampak Negatif yakni generasi muda mulai kehilangan
kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-
gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang yakni, dari
cara berpakaian, berdandan, moralitas, dan Perilaku sehari- hari.
2.
Adapun langkah yang
mesti dilakukan dalam hal mengantisipasi pengaruh Negatif Globalisasi antara
lain:
a.
Menumbuhkan semangat
Nasionalisme
b.
Menanamkan dan
mengamalkan Nilai Pancasila
c.
Menanamkan dan
melaksanakan ajaran agama
d.
Lebih selektif
terhadap pengaruh globalisasi
e.
Perhatian pra orang
tua dalam memantau pergaulan anak
III.II Saran
1.
Kepada Pemerintah agar sekiranya lebih Intens lagi dalam hal melakukan Fillterisasi terhadap informasi dan
tekhnologi yang masuk di Indonesia.
2.
Kepada Generasi Muda harapan bangsa agar lebih selektif dalam memanfaatkan tekhnologi
dan Informasi agar dapat bermanfaat tanpa harus menghilangkan budaya asli
Bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Noer, Rosita.1998. Menggugah
Etika Bisnis Orde Baru. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
http://simalangokiki.blogspot.com/2011/10/pengertian-etika-menurut-para-ahli-dan.html/
diunggah pada tanggal 16
April 2012.
http://www.scribd.com/doc/8365104/PENGERTIAN-ETIKA/diunggah pada tanggal 16 April
2012.
http://area.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_42.pdf/diunggah tanggal 16 April 2012
http://artikel.sabda.org/globalisasi/ diunggah tanggal 17 April 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika/ di unggah tanggal 17 April 2012